Rabu, 23 Maret 2011

mikroinjeksi ikan

Teknologi transgenesis menjadi sarana yang mulai diterapkan pada pengembangan akuakultur di Indonesia. Transgenesis dapat menghasilkan ikan transgenik yang memberikan beberapa manfaat antara lain peningkatan laju pertumbuhan (Nam et al., 2001; Kobayashi et al., 2007), peningkatan laju pemanfaatan pakan (Kobayashi et al., 2007), peningkatan kemampuan resisten ikan terhadap penyakit (Dunham et al., 2002; Sarmaşik, 2003), dan pembuatan ikan strain baru (Gong et al., 2003)

Sejak telur-telur ikan dikeluarkan ke lingkungan eksternal, maka diperlukan teknologi dan ketrampilan personal untuk memproduksi ikan transgenik, seperti fertilisasi in vitro, metode implantasi dan lain-lain. Hal ini mungkin merupakan salah satu alasan kenapa begitu banyak spesies ikan yang telah dimodifikasi secara genetik. Banyaknya telur yang dihasilkan oleh seekor ikan apabila dibandingkan dengan mamalia, menjadikan ikan-ikan lebih mudah diperoleh, dipertahankan dan dimanipulasi. Keuntungan lainnya dalam penggunaan ikan transgenik berhubungan dengan kenyataan bahwa fertilisasi seringkali dapat ditunda untuk beberapa jam tanpa ikan mengalami kerusakan. Ikan juga relatif lebih mudah untuk dipertahankan, dipacu kematangan gonadnya, dan secara umum tidak membutuhkan biaya pemeliharaan yang mahal serta pertumbuhan ukuran dapat diatur (Yusri 2002)

Mikroinjeksi merupakan teknik transfer gen yang umum digunakan pada transgenesis (Takagi et al., 1994; Volckaert et al., 1994; Hamada et al., 1998; Alimuddin et al., 2003; Kato et al., 2007). Konstruksi DNA diintroduksikan ke dalam sel embrio ikan dengan menggunakan jarum injeksi berukuran sangat kecil. Introduksi dilakukan di bawah mikroskop dengan bantuan mikromanipulator yang mengatur posisi jarum suntik. Untuk memastikan material genetik masuk ke pronuklei, konsentrasi DNA yang tinggi (10 4 -10 7 copy) biasanya diinjeksikan ke telur yang telah dibuahi. Meskipun injeksi dengan jumlah copy DNA yang tinggi meningkatkan integrasi transgen (DNA yang ditranfer), tetapi hal itu meningkatkan resiko kematian pada embrio. Integrasi transgen pada DNA inang umumnya tidak terjadi pada fase satu sel, sehingga tidak semua sel ikan membawa transgen (mozaik) (Zbikwoska 2003)

Keberhasilan prosedur mikroinjeksi telur bergantung kepada beberapa faktor termasuk di dalamnya: kualitas benih dan telur, metode pelaksanaan manipulasi, tipe penyangga injeksi yang digunakan, bentuk dari DNA, konsentrasi suntikan dan ketrampilan teknisi. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi tingkat kegagalan atau keberhasilan pasca injeksi misalnya laju kematian yang bervariasi dari satu telur salmonid pasca injeksi yang berkisar antara 30-95% (Fletcher & Davids 1991). Pada spesies lain, tingkat kelangsungan hidup dilaporkan oleh Dunham et al. (1992) pada channel catfish (Ictalurus punctatus) yang memperoleh tingkat kelangsungan hidup sekitar 33%.

Beberapa penelitian terdahulu telah menguji pengaruh waktu injeksi terhadap tingkat kelangsungan hidup telur. Evaluasi data telah mengindikasikan bahwa terdapat hubungan langsung antara waktu injeksi dengan tingkat kelangsungan hidup telur. Sebagai contoh, Brem (1988) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan Tilapia adalah 25, 52 dan 98% mengikuti mikroinjeksi telur- telur pada 0-16, 21-24 dan 40-43 jam sesudah pemijahan.

Penelitian lain yang telah dilakukan adalah mengevaluasi pengaruh EDTA terhadap tingkat kelangsungan hidup telur dan dilaporkan bahwa keberadaan EDTA dapat menurunkan kelangsungan hidup terhadap telur-telur ikan cyprinid yang telah diinjeksi. Dalam hal yang sama, Penman et al. (1990) mengobservasi hasil penggunaan Tris-NaCl daripada EDTA pada ikan rainbow trout. Konsentrasi DNA yang dapat diterima melalui panampakan embrio yang berkembang bervariasi dengan spesies yang berbeda. Sebagai contoh : mortalitas pada zebrafish mendekati 100% mengikuti injeksi 50 pg DNA (Stuart et a., 1988). Dalam hal yang berbeda, telur-telur ikan salmon nampak lebih sehat, dan dapat menerima injeksi £ 200 pg DNA/telur (Fletcher dan Davis 1991).

Ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya diterapkan teknologi trangenik pada bidang akuakultur (budidaya perikanan) antara lain: laju pertumbuhan ikan, nutrisi, reproduksi, kontrol penyakit dan lingkungan (Yusri 2002).

Laju Pertumbuhan

Teknologi manipulasi gen untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan potensial untuk diaplikasikan dalam industri akuakultur. Peningatan karakteristik pertumbuhan ikan telah dicapai melalui seleksi alami. Efek dramatis terhadap pertumbuhan telah dihasilkan melalui injeksi gen hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) (Yusri 2002).

Beberapa penelitian tentang transfer gen hormon pertumbuhan untuk memacu pertumbuhan ikan telah sukses dilakukan (Pinkert, 1994), seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Gen-gen yang sukses ditransfer pada ikan
Spesies

Construct

Reference

Goldfish

mMT/hGH

Zhu et al. (1985)

Trout

SV40/hGH

Chourrout et al. (1986)

Cathfish

mMT/hGH

Dunham and Eash (1987)

Salmon

FAFP/fAFP

Fletcher et al. (1988)

Loach

mMT/hGH

Benyumov et al. (1989)

Medaka

FLus/fLuc

Tamiya et al. (1990)

Pike

RSV/bGH

Guise et al. (1991)

Common carp

mMT/hGH

Hernandez et al. (1993)

Sumber : Pinkert (1994)

Produksi Hormon pertumbuhan pada ikan transgenik telah diproduksi dengan teknik pemurnian, meskipun masih sebatas uji coba. Akan tetapi, dengan perbaikan teknik dan penambahan pengalaman dalam metode insersi gen, telah diproduksi berbagai spesies ikan yang pertumbuhannya cepat. Keberhasilan penerapan teknologi transgenik ini bergantung kepada transfer gen yang diekspresikan dan diwariskan dengan cara yang stabil serta dapat dipridiksi (Yusri 2002).

Teknologi transgenik dapat menyediakan produksi rata-rata bagi "designer fish" untuk pangsa pasar, percepatan penampakan luar dari ikan, tekstur dagingnya, rasa, warna dan komposisi. Calon gen lain yang memberikan keuntungan pada pertumbuhan ikan termasuk pengaturan pertumbuhan adalah pengkodean untuk pelepasan hormon pertumbuhan dan insulin sebagai faktor pertumbuhan (Fletcher & Davids 1991).

Nutrisi

Budidaya ikan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Salah satu pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan. Semakin efisien penggunaan pakan oleh ikan maka peluang tercapainya keuntungan akan lebih besar, hal ini didasarkan atas kenyataan saat ini bahwa biaya pakan pada budidaya ikan dapat melbihi 50% dari biaya produksi (Yusri 2002).

Pengaturan nutrisi pada ikan budidaya berkaitan dengan pentingnya mengubah kapasitas pencernaan ikan seperti kemampuan untuk meningkatkan kecernaan karbohidrat dan protein nabati. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada ikan-ikan teleostei memberikan sumbangan yang berarti. Hal ini memungkinkan pemberian ijin kepada para pengusaha industri pakan untuk menggunakan komponen pakan yang sedikit lebih rendah kualitasnya. Seperti halnya pada ekspresi enzim phytase dalam ikan-ikan budidaya yang memungkinkan peningkatan kemampuan mencerna posfor asam phytic (Mayer & McLean 1994) yang memungkinkan penggabungan protein nabati dalam pakan, dengan konsekwensi dapat mengurangi bahan pencemar yang mengandung posfor.

Masalah utama yang berhubungan dengan studi teknologi transgenik pada ikan sampai saat ini berhubungan dengan jumlah dan jenis-jenis ikan yang diuji. Salah satu pembatas studi utama berasal dari efisiensi konversi pakan sepanjang siklus hidup ikan. Pemasukan dari konstruksi gen kepada ikan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap efisiensi konversi pakan. Keuntungan-keuntungan dari teknik ini bervariasi pada berbagai spesies ikan (Yusri 2002).

Perubahan Karakteristik Reproduksi

Meskipun faktor yang mengontrol pemijahan pada ikan di bawah pengaruh beberapa gen akan tetapi beberapa rangsangan yang dipengaruhi oleh satu gen secara kritis mempengaruhi tingkah laku pemijahan. Potensi untuk memanipulasi pemijahan pada ikan merupakan salah satu bidang untuk mendapat perhatian dari teknologi transgenik. Gen-gen yang mengontrol parameter reproduksi secara spesifik pada ikan harus dapat diidentifikasi dan diisolasi (Yusri 2002).

Metode untuk memanipulasi kematangan gonad pada ikan secara genetik memungkinkan dilakukan. Ikan yang matang gonad lebih cepat dibandingkan dengan yang normal cenderung untuk mengembalikan penampilan pertumbuhan superiornya. Adanya teknologi untuk memacu kematangan gonad yang menghasilkan telur, menyebabkan nilai pasar untuk telur-telur ikan (caviar) telah meningkat lebih cepat. Hal ini potensial dilakukan pada spesies ikan-ikan tertentu yang memiliki harga jual yang tinggi, seperti : sturgeon, ikan kerapu, napoleon dan lain-lain sebagainya (Yusri 2002).

Strelisasi melalui manipulasi gen akan memberikan beberapa keuntungan karena beberapa spesies ikan yang telah diteliti memper-lihatkan pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan-ikan yang tidak steril. Keuntungan lain dari strelisasi ini dapat ditingkatkan melalui penampakan ciri eksternal bersama dengan dipertahankannya kualitas daging. Prospek lain dari sterilisasi genetik akan melindungi kemurnian genetik dari stok alami (Devlin & Donalson 1992).

Kontrol Penyakit

Pada budidaya ikan secara intensif resiko penyakit akan muncul. Munculnya penyakit tersebut seringkali dihubungkan dengan stress. Untuk mengatasi masalah tersebut dua strategi yang dapat diterapkan yaitu dengan memperhatikan modifikasi secara genetik ikan-ikan yang resisten terhadap penyakit dan aleviasi stress di bawah kondisi budidaya intesif. (Yusri 2002).

Teknologi transgenik atau DNA rekombinan telah memberikan pengaruh dalam mengontrol penyakit pada ikan-ikan, dengan hasil rekombinasi beberapa vaksin secara viral. Dasar genetik dari pertahanan stress pada organisme air sama. Namun demikian, ikan mempunyai ciri-ciri spesifik untuk meningkatkan ketahanannya terhadap stress yang secara genetik dapat diidentifikasi. (Yusri 2002).

Beberapa hasil penelitian terdahulu telah berhasil mengidentifikasi lysozyme pada ikan trout (Oncorhynchus mykiss) yang 15 kali lebih aktif dibanding yang ditemukan pada ikan salmon Atlantik (Salmo salar) (Grinde 1988). Oleh karena produksi lysozyme bertindak dikontrol oleh gen tunggal, maka melalui tahapan yang jelas gen ini akan dapat diisolasi dan menghasilkan ikan transgenik yang lebih kuat lysozymnya. Dengan demikian, penerapan teknologi transgenik dimungkinkan untuk mengkonversi resistensi penyakit pada sebagian besar spesies ikan. Hal ini dapat ditingkatkan melalui manipulasi secara langsung pada sistem kekebalan ikan.

Perluasan Kisaran Lingkungan dalam Budidaya

Sejumlah spesies ikan-ikan teleostei Arctic dan Antarctic dapat bertahan hidup dalam kondisi yang sangat dingin karena kemampuannya secara genetis untuk menghasilkan protein anti beku (antifreeze protein, AFP). Gen yang mengontrol sintesis dan sekresi dari protein ini telah diisolasi dan dikloning dari spesies yang berbeda. Selanjutnya gen yang mengkode AFP telah sukses ditransfer ke dalam ikan salmon Atlantik. Selain itu, juga telah dihasilkan spesies Tilapia yang mampu hidup pada suhu dan salinitas yang tinggi di Afrika Timur. Jika ikan-ikan tersebut mampu hidup pada keadaan ekstrim yang secara genetik dibutuhkan, hal ini dapat diikuti dengan isolasi beberapa kode gen yang mampu beradaptasi pada kisaran lingkungan yang luas pada sejumlah ikan-ikan yang bernilai ekonomis penting (Fletcher dan Davis 1991).

Penemuan dari Fletcher dan rekan-rekannya tersebut telah memberikan harapan besar terhadap sekresi AFP pada ikan-ikan transgenik yang akan memberikan perluasan terhadap adaptasi kisaran lingkungan yang lebih besar dalam menjalankan usaha akuakultur (Yusri 2002).

Pelaksanaan Mikroinjeksi

Larutan DNA dipipet menggunakan tip loading kemudian dimasukkan ke bagian ujung dalam jarum mikroinjeksi. Minyak mineral ditambahkan ke dalam jarum mikroinjeksi menggunakan jarum minyak mineral yang telah dipasang pada needle holder. Jarum minyak mineral dilepas dan jarum mikroinjeksi yang telah berisi larutan DNA dan minyak mineral disambungkan ke needle holder pada seperangkat alat mikroinjektor (Gambar 3).

Telur ikan lele diletakkan dan diatur sedemikian rupa di dalam cekungan agarosa. Larutan DNA diinjeksikan ke blastodisk telur ikan sel secara perlahan dengan bantuan mikromanipulator (Gambar 3c) untuk menggerakkan jarum mikroinjeksi. Mikroinjeksi dilakukan di bawah mikroskop.

isolasi RNA total

Asam ribonukleat (RNA) senyawa yang merupakan bahan genetik dan memiliki peran utama dalam ekspresi gen. Dalam dogma pokok (central dogma) genetika molekuler, RNA menjadi perantara antara informasi yang dibawa DNA dan ekspresi fenotip yang diwujudkan dalam bentuk protein. Molekul RNA merupakan polimer panjang yang tidak bercabang dari gugus ribonukleotida monofosfat yang digabungkan dengan ikatan fosfodiester. Monomer RNA disebut nukleotida, strukturnya terdiri atas tiga komponen utama, yaitu pentosa (ribosa atau gula berkarbon 5), gugus fosfat, dan basa nitrogen (purin dan pirimidin). Basa nitrogen berikatan dengan pentosa membentuk nukleosida. Selanjutnya ketika gugus fosfat bergabung dengan nukleosida dengan ikatan fosfodiester maka akan membentuk nukleotida (Farrell 1993). Polimer tersusun dari ikatan berselang-seling antara gugus fosfat suatu nukleotida dengan gugus ribosa dari nukleotida yang lain.

Asam ribonukleotida (RNA) adalah salah satu molekul asam nukleat yang dibentuk oleh asam dioksiribonukleotida (DNA) yang berfungsi untuk mensintesis protein di dalam inti sel. Berdasarkan letak dan fungsinya RNA dibagi tiga, yaitu messenger RNA (mRNA), transport RNA (tRNA), dan ribosome RNA (rRNA). mRNA berfungsi sebagai cetakan dalam sintesis protein. tRNA berfungsi untuk menterjemahkan kode-kode yang dibawa oleh mRNA. Sedangkan rRNA tersimpan dalam ribosom dan berperan aktif dalam proses sintesis protein (Nurhadryani et al 2004).

Secara kimiawi, perbedaan utama antara DNA dengan RNA adalah (1) gugus hidroksil pada RNA bergabung dengan karbon posisi 2 pada gula ribosa sedangkan pada DNA tidak; (2) pada RNA tidak terdapat basa timin tetapi sebagai gantinya adalah basa urasil. Lebih khusus, RNA disusun oleh prekursor ribonukleotida sedangkan DNA disusun dari prekursor deoksiribonukleotida. Selain itu juga secara kimiawi dan biologis molekul RNA lebih tidak stabil dibandingkan dengan molekul DNA, terutama pada suhu tinggi dan dalam keadaan basa (Farrell 1993).

Molekul RNA berperan penting pada ekspresi gen dan biosintesis protein (Koolman et al. 2000). Semua fungsi sel dan jaringan diatur oleh ekspresi gen, oleh karena itu alasan memilih untuk mempelajari atau meneliti RNA sebagai salah satu parameter biokimia seluler adalah karena keragaman populasi intraseluler RNA itu sendiri (Farrell 1993).

Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction (RT PCR)

Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik PCR yang awal mulanya ditemukan oleh Karry B. Mullis pada tahun 1985. Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in-vitro. Teknik RT PCR merupakan suatu pengembangan dari teknik PCR untuk melakukan analisis terhadap RNA hasil transkripsi yang hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit di dalam sel. Teknik RT PCR yang dikembangkan sangat spesifik, sehingga dapat digunakan walaupun jumlah RNA yang akan dianalisis sedikit (Yowono 2006).

Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan maka harus terlebih dahulu dilakukan transkripsi balik (reverse transciption) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut selanjutnya digunakan sebagai cetakan untuk proses PCR selanjutnya. Kegunaan teknik RT PCR antara lain adalah untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yowono 2006).

Teknik RT PCR memerlukan enzim transkriptase balik (reverse transcriptase). Enzim transkriptase balik adalah enzim yang digunakan untuk mensintesis cDNA dengan menggunakan RNA sebagai cetakan. cDNA yang disintesis akan bersifat komplementer dengan RNA cetakan. Beberapa enzim transkriptase yang dapat digunakan antara lain mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) yang dikode oleh virus Avian myoblastosis (AMV) maupun oleh virus Moloney murine leukemia (M-MuL V), dan Tth DNA polymerase (Yowono 2006)

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan ialah daun tembakau, nitrogen cair, buffer CTAB, laruran LI, larutan LiCI, TE, larutan PCI, DEPC, MOPS, primer SOD, primer Oligo (dt), dNTP, ddH2O, RNA, enzim superskrip Reverse Transkiptase, dan DDT.

Metode kerja

Isolasi RNA Total

Sampel daun tembakau sebayak 0.5 gram digerus dengan menggunakan mortar dan ditambah nitrogen cair sampai halus. Penggerusan dengan nitrogen cair harus dijaga jangan sampai daun mengeluarkan cairan. Hasil gerusan dimasukkan ke tabung ependorf 1.5 ml yang berisi 0.6 ml buffer CTAB yang sebelumnya telah diinkubasi pada suhu 65°C. larutan ini diinkubassi kemabali pada suhu 65 C selama 15 menit. Setelah itu, masukkan ke es dan setelah dingin ditambahkan 0.6 ml CI dan dikocokkuat. Lalu, disentrifugasi dengan kecepetan 10.000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan diambil dan pindahkan ke tabung ependorf baru dan tambhakan ¼ volume larutan 10 M LiCl dan diinkubasi di freezer selama 1 jam. Lalu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm, 4 C sealam 15 menit. Supernatan dibuang, pellet diresuspensi dengan 500 µl TE. Setelah itu dilakukan ekstraksi dengan 1 x volume phenol pH 9, divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan diekstraksi kembali dengan 1 x volume PCI, divorteks dan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm, 4 C salaam 10 mneit. Supernaatn diambil dan ditambahkan ¼ volume 10 M LiCl dan diinkubasi di freezer salaam 1 jam. Lau disentrifugasi denagn kecepatan 10.000 rpm, 4 C selama 15 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 500µl etanol 70 % pada pellet. Lalu sentrifugasi kembaliu denagn kecepatan 10.000 rpm, 4°C salaam 5 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikeringkan setelah kering, ditambahkan 30µl air DEPC.

Kuantifikasi dengan Elektroforesis

Kuantifikasi dilakukan dengan elektroforesis menggunakan agarose 1%. Komposisi agarose terdiri atas agarosa sebanyak 0.4 gram, 20 x MOPS 2 ml, formaldehid 2,2 ml dan DEPC 0.1 % hingga 40 ml. Sampel RNA yang akan dielektroforesis diberikan perlakuan yaitu RNA sebanyak 5 µl (10 µg) ditambah premix ( 5% 20x MOPS; 50% formamide; 175% formaldehid; 27,5% depc 0,1%) sebanyak 12µl/sampel kemudian diinkubasi pada suhu 65o selama 10 menit. Selanjutnya diinkubasi di dalam es selama 5 menit. Kemudian ditambahkan loading dye, dicampur dan dielektroforesis. Buffer yang digunakan dalam elektroforesis adalah bufer MOPS.

Isolasi gen dengan RT-PCR

Teknik RT PCR dilakukan dengan menggunakan primer SOD dengan buffer sebanyak 2 µl, primer Oligo (dt) 500 ng/µl sebanyak 0.5 µl, dNTP (25 mM) sebanyak 1 µl, RNA (500 ng – 5 μg) sebanyak 1 µl, enzim superskrip Reverse Transkiptase sebanyak 0.1 µl, ddH2O sebanyak 10 µl, dan DTT 0.1 M sebanyak 1 µl. Program RT PCR (pre PCR) terdiri dari predenaturasi 30°C selama 10 menit, denaturasi 42°C selama 50 menit, annealing 95°C selama 5 menit dan elongasi 15°C selama 15 menit. Keberhasilan terbentuknya cDNA dan kemurnian diperiksan dengan PCR.

Keberadaan cDNA diperiksa dengan PCR dengan menggunakan primer dari gen aktin, dengan komposisi sebagai berikut, ddH2O sebanyak 4.6 µl, dNTP sebanyak 1 µl, Taq DNA polimerase sebanyak 0.5 µl, buffer Taq 0.5 µl, DMSO sebanyak 0.4 µl, cDNA sebanyak 1.5 µl, primer Forward (AF2) sebanyak 0.5 µl, primer Reverse (AR2) sebanyak 0.5 µl. Program PCR terdiri dari predenaturasi 94°C selama 5 menit, denaturasi 94°C selama 30 menit, annealing 58°C selama 30 menit, elongasi 72°C selama 60 menit, dan pasca PCR 72°C selama 5 menit. PCR dilakukan sebanyak 30 siklus.